Selasa, 31 Maret 2009

Runtuhnya Benteng Khaibar

Ketika terikat perjanjian gencatan senjata dengan kafir Quraisy dalam kesepakatan Hudaibiyah, Rasulullah Muhammad saw mulai memperhatikan sepak terjang kaum Yahudi Khaibar dengan seksama. Khaibar adalah sebuah kota besar yang memiliki benteng dan kebun-kebun sejauh 60 sampai 80 mil kearah utara Madinah.
Khaibar telah menjelma menjadi markas gembong-gembong Yahudi yang selalu memusuhi kaum muslimin. Sebagian pemuka Yahudi Bani Nadhir -yang diusir Nabi saw dari Madinah karena berkhianat- menjadikan Khaibar sebagai tempat pelarian.

Adalah Yahudi Khaibar yang mendorong Yahudi Bani Quraizhah untuk melanggar perjanjian dengan Nabi saw dan merongrong Madinah dari belakang saat kaum muslimin sibuk menangkal pengepungan Quraisy dan sekutunya dalam perang Ahzab. Bahkan penduduk Khaibar telah mempersiapkan berbagai senjata dan berhasil menggalang dukungan suku Gathafan serta Arab Badui untuk menyerang Madinah.

Karenanya beberapa bulan sepulang dari Hudaibiyah (tahun 7 Hijriyah), Nabi saw memerintahkan kaum muslimin untuk berangkat ke Khaibar. Sekitar 1400 orang memenuhi panggilan ini. Saat itulah Abu Hurairah ra masuk islam dan langsung bergabung dengan para mujahidin. Sedangkan Madinah dipercayakan kepada Siba bin Urthufah Al Ghifary untuk menjaganya (dalam Sirah Nabawiyah, Al Mubarakfury, Pustaka Al Kautsar, hal. 479-492).

Sementara itu Abdullah bin Ubay, tokoh kaum munafik Madinah membocorkan rencana ini. Ia mengirim pesan, “Muhammad hendak mendatangi kalian, maka bersiap siagalah dan kalian tidak perlu takut terhadapnya. Karena jumlah kalian lebih banyak. Kaum Muhammad hanya sedikit dan hanya membawa persenjataan yang minim.”
Jika hendak menyerbu suatu kaum, Nabi saw tidak mendekati mereka kecuali setelah paginya. Wilayah Khaibar dibagi menjadi 2 bagian. Bagian pertama terdiri dari 5 benteng, sedangkan bagian kedua ada 3 benteng. Sebetulnya ada benteng lain selain ini, namun tidak terlalu kuat dan besar.

Begitu melihat para mujahidin, para penduduk Khaibar yang sedang membawa sekop dan keranjang menuju kebun berteriak, “Itu Muhammad, demi Allah Muahammad dan pasukannya.” Mereka berlari kembali kekotanya. Saat itu Nabi bersabda, “ Allahu Akbar, runtuhlah Khaibar!, Allahu Akbar, runtuhlah Khaibar! Jika kita tiba disuatu kaum, maka amat buruklah bagi orang-orang yang layak mendapat peringatan.”
Sebelum menyerbu benteng musuh, Nabi saw menunjuk Ali bin Abi Thalib ra sebagai komandan regu. Nabi saw menyerahkan panji pasukan kepadanya. Ali berkata, “Wahai Rasulullah, aku akan benar-benar memerangi mereka.”
“Janganlah terburu-buru, jika kamu sudah sampai didaerah mereka, ajaklah mereka untuk masuk islam. Beri tahu mereka tentang kewajiban yang harus mereka lakukan. Demi Allah jika ada seseorang diberi hidayah oleh Allah karena usahamu, itu lebih baik bagimu daripada himar (tunggangan/harta) yang paling elok sekalipun.”

Ternyata mereka menolak ajakan Islam. Malah mereka menantang perang tanding dan keluar dari bentengnya. Tak ayal, pertempuran hebatpun meletus disekitar benteng-benteng dibagian pertama. Sekalipun benteng-benteng dibagian kedua lebih besar dan lebih banyak prajuritnya, tapi mereka putus asa dan menyerah begitu saja tanpa ada perlawanan. Padalah jumlah mereka lebih banyak dan punya senjata lebih lengkap serta benteng yang kokoh.

Ada sebuah benteng yang sulit ditaklukkan. Namanya benteng Ash Sha’ab. Meski dikepung selama tiga hari, namun tak kunjung berhasil. Para sahabat mengadu kepada Nabi saw, “kami telah berjuang dan tidak ada lagi yang tersisa di tangan kami.” Lalu Nabi saw berdoa, “Ya Allah, Engkau sudah tahu keadaan mereka (muslimin). Mereka tidak lagi mempunyai kekuatan dan tanganku tidak ada lagi sesuatu yang bisa kuberikan kepada mereka. Maka berikanlah kemenangan kepada mereka dengan menaklukkan benteng paling mereka perlukan, paling banyak makanan dan paling gemuk ternak-ternaknya.”
Orang-orang muslimpun bangkit dan Allah swt memberi keberhasilah. Sementara di Khaibar tidak ada benteng yang lebih banyak makanannya (hasil kebun-kebun Khaibar) dan lebih gemuk ternak-ternaknya selain dari benteng ini. Akhirnya para mujahidin medapatkan makanan setelah beberapa hari kelaparan. Saking banyaknya harta rampasan, Ibnu Umar ra berujar, “Sebelumnya kami tidak pernah merasa kenyang hingga kami menaklukkan Khaibar.” Aisyah ra juga bercerita, “Saat Khaibar ditaklukkan, kami berkata, sekarang bisa kenyang karena makan kurma.”

Sumber : Al Falah


Selengkapnya...

Rabu, 18 Maret 2009

Cerita Tiga Anak Sholeh

Pada suatu ketika ada tiga orang pemuda yang bepergian. Ditengah perjalanan mereka terpaksa bermalam didalam sebuah gua. Tiba–tiba dengan tidak terduga sebuah batu besar terjun dari atas bukit hingga menutup pintu gua itu sehingga ketiga pemuda tadi terjebak didalamnya. Didorongnya batu besar itu dengan sekuat tenaga tetapi batu tersebut tidak bergerak sama sekali.

Berkatalah salah seorang pemuda itu kepada temannya, “Sungguh tiada sesuatu yang dapat menyelamatkan kita dari bahaya ini kecuali jika kita tawasul kepada Allah tentang amal sholeh yang pernah kita lakukan. Sehingga mudah–mudahan batu besar ini dapat digeser.”

Berkatalah pemuda yang pertama, “Ya Allah, dahulu saya mempunyai ayah dan ibu yang sudah tua. Saya biasa memberi minum susu pada beliau berdua sebelum aku memberinya pada orang lain. Hingga pada suatu ketika agak kejauhan bagiku menggembala ternak. Aku tidak kembali kepada kedua orang tuaku hingga malam hari dan keduanya kudapati telah tertidur. Maka akupun segera memerah susu untuk keduanya. Saya tunggui tidurnya, tetapi beliau nyenyak istirahatnya, sehingga aku segan membangunkannya. Sementara sayapun tidak memberikan minuman susu itu kepada siapapun sebelum kepada beliau berdua. Padahal semalam itu juga anak–anakku sedang menangis minta susu tadi. Ya Allah, jika baktiku kepada kedua orang tuaku itu mendapatka ridloMu maka lapangkanlah keadaan kami ini.“ Maka didorongnya batu besar itu dan bergerak sedikit , hanya saja mereka belum bisa keluar.

Berkatalah pemuda yang kedua, “Ya Allah dahulu saya punya pacar yang amat cantik. Saya selalu merayu dan ingin berzina kepadanya, tetapi ia selalu menolak dengan keras. Hingga suatu saat keluarganya jatuh pailit. Aku sanggup menolong dari kepailitan itu, asal ia mau menyerahkan dirinya kepadaku pada malam harinya. Maka ketika saya telah berada diantara dua kakinya (siap berzina ), tiba–tiba ia berkata, “Takutlah kamu kepada Allah dan jangan kau pecahkan selaput daraku ini kecuali dengan halal.” Aku terhenyak bangun dari padanya, dan aku tetap rela membantu dari kepailitannya. Ya, Allah jika perbuatanku itu mendapatkan ridloMu maka hindarkanlah kami dari kemalangan ini.” Maka didorongnya batu besar itu dan bergerak sedikit, tetapi belum cukup untuk keluar dari pintu gua itu.

Maka berkatalah pemuda yang ketiga, “Saya dulu seorang pangusaha yang banyak sekali buruh pegawaiku. Saya selalu tepat membayar upah buruhku. Hingga pada suatu saat ketika saya membayarkan upah buruh, ada seorang buruh yang tidak hadir karena ada kepentingan lain. Ia belum menerima upahnya. Maka upah buruh tadi saya kembangkan hingga bertambah–tambah, berlipat–lipat. Pada suatu ketika datanglah kepadaku si buruh tadi menanyakan akan upahnya yang belum dibayarkan olehku. Aku katakan kepadanya bahwa harta kekayaan yang ada di depannya yang berupa unta, lembu, kambing itu miliknya. Upahmu dulu aku kembangkan hingga menjadi kekayaan itu, maka ambilah semuanya. Ya, Allah jika perbuatanku itu mendapatkan ridloMu maka hindarkanlah kami dari kesempitan ini.” Maka didorongnya batu besar itu dan bergerak, sehingga cukup untuk keluar dari pintu gua itu dan keluarlah ketiganya dengan selamat.

Dari itu dapat diambil hikmah betapa besarnya faidah melakukan amal dengan tulus ikhlas berbakti kepada kedua orang tua, mengalahkan besarnya godaan hawa nafsu dan kerakusan terhadap harta (upah buruh).

Allah berfirman dalam Al Qur’an surat Al Israa', 80 :
“Ya Tuhanku , Masukkanlah aku secara masuk yang benar dan keluarkanlah (pula) aku secara keluar yang benar. Dan berilah kepadaku dari sisiMu kekuasaan yang menolong“

Selengkapnya...

Jumat, 13 Maret 2009

Ibnu Hajar

Alkisah ada seorang santri yang kurang beruntung, namanya Ibnu Hajar (Ibnu Hajar artinya anaknya batu). Ia adalah seorang ulama besar pada masanya. Ada ceritanya mengapa mendapat julukan Ibnu Hajar.
Sebenarnya ia bernama Sofyan bin Mas’ud Al Kurtubi. Oleh ayahnya pemuda Sofyan di sekolahkan pada seorang ulama besar bernama Faqih As Sjuhudi. Tetapi pemuda Sofyan tadi terlalu sulit setiap menerima pelajaran dari gurunya. Semua tugas–tugas yang diberikan As Syuhudi tidak dapat diselesaikan dengan sempurna. Sehingga berat rasanya belajar pada sang Guru. Apalagi cemooh dan gurauan dari sesama murid terhadap dirinya semakin menyengsarakan hatinya. Bertahun–tahun ia berguru tetapi kemajuannya kurang berarti. Maka diam–diam Sofyan Al Kurtubi melarikan diri dari tempat ia belajar. Ia berjalan jauh tanpa tujuan. Hatinya sudah kosong seakan putus asa atas kegagalan belajarnya.


Ditengah perjalanan jauh yang tanpa tujuan itu, tiba–tiba turun hujan dan angin ribut. Dicarinya tempat untuk berteduh. Setelah dicari kesana kemari maka diketemukanlah sebuah gua kecil dan iapun masuk gua itu untuk berteduh.

Singkat cerita dalam pelariannya itu ia bersembunyi didalam gua tersebut hingga beberapa hari. Suatu hari ia melihat ada tetesan air dalam gua yang dapat melubangi batu dasar gua itu. Dalam hati Sofyan bin Mas’ud merenungkan kejadian tersebut. Batu yang besar dan keras itupun akan berlubang walau hanya terkena tetesan air asal terus menerus dan dalam waktu yang lama. Menurutnya orang mencari ilmu walaupun dalam kondisi sulit, akan dapat berhasil asalkan tekun dan terus–menerus belajar walaupun dalam waktu relative lama. Maka atas ijin Allah ia kembali lagi kepada gurunya untuk memperdalam ilmu agama lagi. Pemuda Sofyan ingin membuka lembaran baru dalam berguru agama. Ia tekun dan benar–benar konsentrasi pada pelajaran dan tidak mau memeperhatikan cemoohan orang. Alhasil ia dapat menyelesaikan pelajarannya dengan sangat memuaskan walaupun dalam waktu relative lama. Akhirnya beliau menjadi ulama besar pada masanya.

Dalam kehidupan sehari–hari sering kita temui banyak orang yang putus asa untuk mencapai tujuan. Segala sesuatu inginnya diraih dengan cepat, sehingga banyak orang yang menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya. Padahal untuk mencapai kesuksesan diperlukan kerja keras dan melalui proses panjang. Islam tidak memperbolehkan untuk berputus asa dari rahmatNya. Perlu keuletan dan ketelatenan dalam mencapai tujuan.

Firman Allah :

“…….dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir". (QS. Yusuf 87)




Selengkapnya...

© free template 3 columns