Senin, 13 Juli 2009

Ketika Tanganmu Menyentuh Dadaku

Ketika Fathu (Penaklukan) Mekkah, Rasulullah saw berjalan dengan penuh wibawa dan tawadhu. Kemudian Rasul menuju ke Kabah dan menghancurkan berhala-berhala yang mengelilingi Kabah. Rasul bertakbir dan diikuti para sahabatnya. Kemudian Rasullullah saw membaca ayat, “Dan katakanlah, Yang benar telah datang dan yang batil telah lenyap. Sesungguhnya yang batil itu adalah sesuatu yang pasti lenyap” (QS. Al Isra 81).
Setelah itu, Rasulullah saw menyuruh Bilal mengumandangkan azan. Bilal pun melakukannya. Dan langit Mekkah pun dipenuhi suara seruan kemenangan dan kalimat tauhid. Peristiwa itu terjadi ketika orang-orang Quraisy yang berada di Mekkah sedang dilanda kegalauan. Mereka menyaksikan dengan mata kepala sendiri patung-patung berjatuhan lalu menjadi barang bekas yang tak berguna lagi.
Bukan pemimpin Quraisy saja yang dibuat marah tindakan Rasululah saw terhadap berhala-berhala itu dan seruan Bilal dari atas Kabah. Tersebutlah Fadhalah bin Umair al-Laitsi. Ia marah melihat berhala-berhala nenek moyangnya luluh lantak menjadi tanah dan debu.

Dan ketika Rasulullah saw melintas, maka Fadhalah berkata pada dirinya, “ini orang yang membunuh bapak-bapak kami, menganggap bodoh mimpi-mimpi kami, dan mengecam agama kami serta menghancurkan tuhan-tuhan kami di depan mata kami. Sesungguhnya darah bapak-bapak kami menyeru kami supaya membalas dendamnya. Hubal (nama berhala) memanggil kami untuk membalaskan dendam mereka. Sesungguhnya yang paling membuatku marah adalah suara budak Habsyi ini (Bilal). Dia mengumandangkan dengan keras apa yang mereka sebut dengan azan. Dimana kamu hai Umayah bin Khalaf? Lihatlah budakmu telah menjadi pemimpin yang ditaati sedang naik ke atas bangunan yang paling suci. Sungguh kamu akan lebih bahagia mati sebelum melihat apa yang aku lihat, suaranya itu benar-benar membakar jantungku, meledakkan api kedengkian, dan kemarahanku. Sungguh suara-suara dendam itu benar-benar muncul dan relung hatiku yang terdalam. Aku tidak bisa hidup walaupun sesaat di negeri yang di dalamnya aku tidak mampu melakukan apa yang aku kehendaki. Aku tidak bisa meninggalkan Mekkah karena aku tidak bisa hidup di negeri lain. Aku harus balas dendam, harus melawan. Aku harus membuat reda suara-suara gemuruh azan dan Al Quran ini, harus, harus, harus...”
Kemudian, Fadhalah berjalan sedikit mengendap-ngendap untuk mendekati Rasulullah saw. Lalu ia meraih gagang pedangnya. Tapi Rasulullah saw menoleh seraya berkata, “Apakah kamu Fadhalah?” Dengan rasa segan pada wibawa Rasul dia berkata, “Ya.” Sambil tersenyum, Rasulullah saw bertanya lagi, “Apa yang tadi kamu katakan pada dirimu?”
Fadhalah kelimpungan. Lalu ia bertanya-tanya pada dirinya, “Apa yang diketahui Muhammad di dalam hatiku? Tidak, tidak mungkin pertanyaannya ini berkait dengan yang diungkap hatinya untuk membunuhnya, tidak diragukan bahwa maksudnya adalah hal lain.” Akhirnya, Fadhalah menjawab, “Tidak ada apa-apa wahai Muhammad. Tadi aku mengingat Allah.” Rasulullah saw tertawa dan berkata, “Astagfirullah, aku mohon ampun pada Allah.”
Fadhalah mengerti bahwa Nabi saw memergokinya. Dia sangat ketakutan dan dadanya terguncang. Rasullullah saw kemudian memanggilnya dan Fadhalahpun mendekat. Dan Rasulullah saw mengulurkan tangannya ke dada Fadhalah tepat di ulu hatinya. Kemudian Nabi saw mendoakan hidayah kepadanya. Ia merasakan ketenangan setelah kegelisahan menguncangnya dengan sangat keras. Ia menjadi merasa teduh setelah ketakutan yang luar biasa menimpa hatinya yang kosong.

Fadhalah berkata, “Saat Rasulullah saw meletakkan tangannya di dadaku, terasa tidak ada makhluk Allah di muka bumi ini yang lebih aku cintai kecuali dia.” Fadhalah minta izin pulang dan melintasi jalan yang biasa dilaluinya. Dia melewati seorang wanita yang sebelumnya pernah diajaknya bicara. Wanita itu berkata, “Kemari kita berbincang-bincang, hai Fadhalah.” Fadhalah menjawab, “Tidak, itu sudah berlalu sebelum hari ini.” Wanita itu berkata, “Aneh, apa yang mengubahmu hari ini?”
Dia berkata, “iman kepada Allah dan Rasul-Nya.” Kemudian dia melantunkan syair:
Allah dan Islam enggan padamu
Seandainya engkau melihat Muhammad dan golongannya
Melakukan penaklukan pada hari ini
kehancuran berhala-berhala itu
Niscaya engkau melihat agama Allah itu sangat jelas
Kesyirikan itu menutupi wajahnya dengan kegelapan
Wanita itu menyela, “Kemari, kita berbicara!” “Tidak,” jawabnya. Fadhalah terus berada di jalan Islam. Demikian juga dengan penduduk Mekkah lainnya.
Rasulullah saw tidak memasuki Mekkah dan menaklukkannya begitu saja. Akan tetapi beliau telah menaklukkan hati penduduknya lalu mereka berbaur dalam keindahan iman. Lalu setelah itu tidak ada tempat lagi untuk yang lain.

TELADAN
“Saya telah mempelajarinya. Dia (Muhammad) orang yang hebat menurut saya. Tanpa bermaksud bersikap anti kristus, seharusnya dia dijuluki Juru Selamat Umat Manusia (the savior of humanity).”
(Sir George Bernard Shaw dalam buku The Genuine Islam)

Sumber : Al Falah
Selengkapnya...

Etika Berdagang

Di masa sekarang ini, kita tidak bisa lepas dari transaksi jual-beli. Mulai dari jual-beli kebutuhan pokok hingga jual-beli barang-barang bekas. Sebagai agama yang syaamil (menyeluruh), Islam memberi tuntunan etika berdagang. Teladan terbaik kita, Nabi Muhammad saw telah banyak mencontohkan akhlak yang baik. Sebagaimana telah kita ketahui, beliau adalah pedagang yang terkenal kejujurannya. Karena akhlaknya yang mulia itu, banyak saudagar yang mengajak beliau bekerja sama. Salah satunya adalah Khadijah binti Khuawailid ra yang kemudian dinikahi Nabi saw.
Berikut ini beberapa etika berdagang menurut tuntunan Al Quran dan sunnah Nabi saw. Agar aktivitas ini menjadi salah satu ladang pahala bagi kita, jangan sampai usaha kita selama ini malah menjerumuskan kita pada kerusakan di dunia dan akhirat kelak.

1. Membaguskan niat dalam berdagang.
Anas ra bercerita bahwa, Rasulullah saw melihat para sahabat bekerja dengan rajin dan giat. Mereka bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah ini bagian dari jihad?” Nabi saw menjawab, “Jika usaha itu untuk anaknya yang kecil, orang tuanya, dan untuk dirinya sendiri, maka itu termasuk jihad di jalan Allah. Namun jika dia berusaha karena riya (pamer) dan kesombongan, itu adalah jihad di jalan setan” (HR. Ath Thabrani dan Al-Baihaqi).
2. Hendaknya kecintaan terhadap dunia tidak mengalahkan kerinduan akan akhirat.
Yaitu dengan membiasakan dzikir, istigfar, shalawat, serta meninggalkan perniagaan dan bergegas shalat ketika azan berkumandang.
Allah swt. berfirman, “Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual-beli dan mengingat Allah dan mendirikan shalat (dan) membayar zakat. Mereka takut kepada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi goncang” (QS. An Nuur 37). Nabi saw bersabda, “Barangsiapa membiasakan membaca istighfar, maka Allah akan melapangkan segala kesempitannya, memudahkan segala kesulitannya, dan memberinya rezeki yang tanpa diduga-duga” (HR. Abu Dawud).
3. Hendaknya mencari rezeki yang halal.
Nabi saw bersabda, “Sesungguhnya yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas. Dan di antara yang keduanya ada perkara yang syubhat (samar-samar), yang kebanyakan manusia tidak mengetahuinya. Maka barangsiapa menjaga dirinya dari yang syubhat, berarti ia telah membersihkan agama dan kehormatannya. Dan barangsiapa jatuh dalam wilayah syubhat, berarti ia telah jatuh ke dalam wilayah haram...” (HR. Bukhari & Muslim).
4. Menjauhi perbuatan dusta dan curang.
Nabi saw. melarang praktik al-gisy yaitu melakukan pengelabuan kecurangan dalam berdagang dengan cara misalnya menampakkan barang dagangan yang bagus dan menjadikannya sebagai contoh. Padahal sebagian yang lainnya tidak sebagus itu atau bahkan berkualitas buruk, tanpa memberitahukan hal itu pada pembeli. Sehingga pembeli menyangka semuanya berkualitas yang sama dengan contoh yang ditunjukkan. Rasulullah saw bersabda, “Barangsiapa yang berlaku curang atau mengelabui kami, maka ia bukan termasuk golongan kami” (HR. Muslim).
5. Tidak bersumpah hanya karena barangnya ingin laku.
Nabi saw bersabda, “Takutlah banyak bersumpah dalam berdagang karena itu akan membinasakan” (HR. Muslim).
6. Tidak boleh mengurangi takaran dan timbangan.
Allah swt berfirman, “Celakalah bagi orang-orang yang curang! (yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dicukupkan, dan apabila mereka menakar atau menimbang (untuk orang lain) mereka mengurangi” (QS. Al Muthaffifin 1-3).
7. Tidak diperkenankan memuji berlebihan barang yang dijual.
Nabi saw bersabda, “Pedagang yang jujur dan tepercaya akan bersama dengan Nabi, Shiddiqin, dan syuhada” (HR. At Tirmidzi)
8. Tidak menimbun barang.
Nabi saw bersabda, “Tiada yang menimbun dan memonopoli barang dagangan kecuali orang yang berdosa” (HR. Muslim).
9. Menentukan harga dan melakukan proses jual-beli dengan baik.
Nabi saw bersabda, “Semoga Allah memberi rahmat kepada seseorang yang bermurah hati (mudah dan memudahkan) sewaktu menjual, bermurah hati (mudah dan memudahkan) ketika membeli dan bermurah hati (mudah dan memudahkan) saat menagih utang” (HR. Al-Bukhari)
10. Tidak diperkenankan menjual barang yang sedang ditawar orang lain.
Nabi saw. bersabda, “Dan tidak diperbolehkan kalian mengadakan jual beli yang sedang dalam penawaran orang lain” (HR. Muttafaq ‘alaihi).
11. Tidak boleh melakukan transaksi riba.
Allah Taala berfirman, “Allah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba” (QS. Al Baqarah 275) dan “Allah menghilangkan/memusnahkan berkah harta riba dan menyuburkan sedekah” (QS. Al Baqarah 276). “Hai orang-orang beriman bertaqwalah kepada Allah dan tinggalkanlah sisa riba (seberapapun nilainya), jika kamu benar-benar menjadi orang-orang beriman” (QS. Al Baqarah 278 ). Dan dalam hadits lbnu Mas’ud ra, beliau berkata, “Rasulullah saw melaknat pemakan riba (penerimanya atau rentener), pemberinya (peminjam), kedua saksi, dan pencatatnya” (HR. Muslim dan At Tirmidzi).
12. Tidak berjual-beli barang-barang haram.
Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya Allah mengharamkan penjualan minuman keras, bangkai, babi, dan patung-patung sesembahan” (HR. Muttafaq ‘alaih). Dan beliau juga melarang (tidak menghalalkan) uang hasil penjualan anjing, uang hasil pelacuran dan upah dukun” (HR. Muttafaq alaih).

Sumbar : Al Falah

Selengkapnya...

Senin, 01 Juni 2009

Pintu - Pintu Rezeki

“Mencari rezeki yang haram saja susah apalagi cari yang halal.” Ungkapan ini sering kita dengar. Apalagi saat kondisi global sedang mengalami resesi. Entah dengan maksud bergurau atau mungkin juga dengan niat yang sangat serius.
Padahal Allah swt. telah menjamin rezeki setiap makhluk-Nya. “Dan tidak ada suatu makhlukpun di bumi melainkan AlIah-Iah yang memberi rezekinya, dan Dia mengetahui tempat berdiamnya dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh)” (QS. Hud 6)
Agaknya banyak diantara kita yang sering dihinggapi pikiran negatif. Allah swt mengingatkan, “Syetan menjanjikan (menakut-nakuti) kamu dengan kemiskinan dan menyuruh kamu berbuat kejahatan (kikir); sedang Allah menjanjikan untukmu ampunan dari-Nya dan karunia. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui” (QS. Al Baqarah 268)
Jadi, ungkapan itu mesti kita ubah menjadi, “Di dunia ini karunia-Nya melimpah ruah. Allah swt. Maha Mencukupi. Dunia tidak akan kehabisan rezeki halal, buat apa cari yang haram?” Kewajiban kita hanya berusaha semaksimal mungkin mencari karunia Nya. Sebab, kita tidak tahu berapa Allah menjatah rezeki-Nya untuk kita. Berikut ini sebagian pintu-pintu rezeki yang diajarkan Allah dan rasul-Nya :

1. Memperbanyak Istighfar
Allah berfirman, “Maka aku (Nuh as) katakan kepada mereka, ‘Mohonlah ampun (istighfar) kepada Tuhanmu. Sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat dan membanyakkan harta dan anak anakmu, mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai” (QS Nuh 10-12). Al Qurthubi menafsirkan, “Dalam ayat ini, terdapat dalil yang menunjukkan bahwa istighfar merupakan salah satu sarana dilimpahkan-Nya rezeki dan hujan.” Rasulullah saw bersabda, “Barang siapa memperbanyak istighfar niscaya Allah menggantikan kesempitan menjadi jalan keluar, setiap kesedihan menjadi kelapangan, dan Allah akan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangka” (HR. Abu Dawud).

2. Bertakwa
“Barang siapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan jalan keluar baginya. Dan (Dia) memberinya rezeki dari arah tiada disangka-sangkanya” (QS. Ath Thalaq 2-3). lbnu Katsir menafsirkan, “Maknanya, barang siapa yang bertakwa kepada Allah dengan melakukan apa yang diperintah-Nya dan meninggalkan apa yang dilarang-Nya niscaya Allah akan membeni jalan keluar serta rezeki dari arah yang tiada disangka sangka yakni dari arah yang tidak pernah terlintas dibenaknya.”
3. Bertawakkal kepada Allah swt.
“Sungguh seandainya kalian bertawakkal kepada Allah sebenar-benarnya niscaya kalian akan diberi rezeki sebagaimana rezeki burung-burung. Mereka berangkat pagi-pagi dalam keadaan lapar dan pulang sore hari dalam keadaan kenyang” (HR. Ahmad, Tirmidzi); Tawakkal berarti kesungguhan hati dalam bersandar kepada Allah swt. untuk mendapatkan kemaslahatan serta mencegah bahaya, baik menyangkut urusan dunia maupun akhirat.

4. Rajin beribadah
Nabi saw. bersabda, “Sesungguhnya Allah berfirman, ‘Wahai anak Adam! Beribadahlah sepenuhnya kepada-Ku. Niscaya Aku penuhi (hatimu yang ada) di dalam dada dengan kekayaan dan Aku penuhi kebutuhanmu. Jika tidak kalian lakukan, niscaya Aku penuhi tanganmu dengan kesibukan dan tidak Aku penuhi kebutuhanmu (kepada manusia)” (HR. Tirmidzi, Ahmad, lbnu Majah).

5. Haji dan Umrah
“Lanjutkanlah haji dengan umrah karena sesungguhnya keduanya menghilangkan kemiskinan dan dosa sebagaimana api dapat menghilangkan karat besi, emas, dan perak. Dan tidak ada pahala haji yang mabrur itu kecuali surga” (HR. Ahmad, Timidzi, Nasa’i).

6. Banyak Silaturahmi
Nabi saw. bersabda, “Siapa yang ingin dilapangkan rezekinya dan diakhirkan ajalnya (dipanjangkan umurnya) maka hendaklah ia menyambung tali silaturahmi” (HR. Bukhani).

7. Banyak Sedekah
“Dan barang apa saja yang kamu nafkahkan maka Allah akan menggantinya dan Dialah Pemberi rezeki yang sebaik-baiknya” (QS. Saba 39). Ibnu Katsir menafsirkan, “Betapapun sedikit yang kamu nafkahkan dari apa yang diperintahkan Allah kepadamu dan apa yang dibolehkan-Nya, niscaya Dia akan menggantinya di dunia, dan di akhirat engkau akan diberi pahala dan ganjaran.”
Nabi saw. bersabda dalam hadist qudsi, “Allah swt. berfirman, ‘Wahai anak Adam, beninfaklah niscaya Aku berinfak(memberi rezeki) kepadamu” (HR. Abu Daud).

8. Menafkahi Penuntut Ilmu
Anas bin Malik ra berkata, “Dulu ada dua orang bersaudara pada masa Rasulullah saw. Salah seorang menuntut ilmu pada majelis Rasulullah saw., sedangkan yang lainnya bekerja. Lalu saudaranya yang bekerja itu mengadu kepada Rasulullah saw. (lantaran ia memberi nafkah kepada saudaranya itu). Maka Nabi saw. bersabda, “Mudah-mudahan engkau diberi rezeki dengani sebab dia” (HR. Tmrmidzi, al-Hakim).

9. Membantu Orang-orang Lemah (dhuafa)
Rasulullah saw. bersabda, “Bantulah orang-orang yang lemah karena kalian diberi rezeki dan ditolong lantaran orang orang lemah di antara kalian” (HR. Muslim, An Nasal).

10. Hijrah di Jalan Allah
“Barang siapa hijrah di jalan Allah, niscaya mereka menidapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rezeki yang banyak..!’ (QS. An Nisa 100).

Sumber : Al Falah


Selengkapnya...

Jumat, 29 Mei 2009

Tetangga oh Tetangga

“Sembahlah Allah dan Janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapak, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri” (QS. An Nisaa 36).

Penghambaan kepada Allah swt harus selaras dengan pergaulan kita terhadap berbagai kelompok manusia sebagaimana Firman-Nya di atas. Salah satunya adalah tetangga. Nabi saw pernah bersabda, “Jibril terus menerus berwasiat kepadaku (agar aku berbuat baik) kepada tetangga sehingga aku menyangka bahwa Jibril akan menjadikannya ahli waris” (Muttafaq alaihi).
Tetangga ibarat saudara ‘terdekat’ kita. Merekalah paling dahulu mengulurkan tangan jika kita punya hajat. Seolah-olah mereka telah menjadi saudara kita meski terkadang tidak ada hubungan darah. Etika bertetangga menjadi sangat penting ketika kehidupan modern saat ini cenderung materialistik dan individualistik. Sudah sepantasnya bagi mukmin untuk memperhatikan adab-adab bertetangga yang diajarkan Nabi saw. Berikut ini paparannya :

1. Mengucapkan salam dan tersenyum jika bertemu.
Nabi saw. bersabda, “Janganlah meremehkan kebaikan sekecil apapun meskipun hanya dengan menampakkan wajah yang berseri-seri saat kamu menjumpai saudaramu” (HR. Muslim).
2. Menjenguknya jika sakit dan bergegas memberi pertolongan ketika dibutuhkan atau diundang.
3. Berta’ziah (menghiburnya) ketika sedang ditimpa musibah atau bencana atau kematian.
4. Ikut bergembira jika ia bergembira dan memberikan ucapan selamat.
5. Memaafkan kesalahan, menutupi aibnya, dan mengingatkannya dengan lemah lembut atas kesalahannya.
6. Berkasih sayang dalam bergaul dengan anaknya dan memberi nasihat yang baik kepada mereka.
7. Menjaga pandangan mata, tidak selalu menyelidiki rahasia-rahasia, menjaga kehormatannya, dan menjaga rumahnya ketika ia sedang tidak di tempat.
Rasulullah saw bersabda, “Hindarilah oleh kamu sekalian berburuk sangka karena buruk sangka adalah ucapan yang paling dusta. Janganlah kamu sekalian saling memata-matai yang lain, janganlah saling mencari-cari aib yang lain, janganlah kamu saling bersaing (kemegahan dunia), janganlah kamu saling mendengki dan janganlah kamu saling membenci dan janganlah kamu saling bermusuhan tetapi jadilah hamba-hamba Allah yang bersaudara” (HR. Muslim).
8. Menjaga suara (radio atau TV) agar tidak mengganggunya terutama diwaktu- waktu istirahat.
9. Tidak menyakiti dengan cara menyempitkan jalan untuk dia atau membuang kotoran atau sampah di dekat rumahnya.
Dalam suatu kesempatan, Nabi saw bersabda, “Demi Allah, tidak beriman! Demi Allah, tidak beriman!” Para sahabat bertanya, “Siapa wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Orang yang tetangganya tidak aman dari kejahatan-kejahatannya” (Muttafaq alaihi).
10. Tidak melanggar batas wilayah hunian.
Nabi saw bersabda, “Barangsiapa menzalimi seseorang dengan sejengkal tanah, maka Allah mengalungkannya kepadanya tujuh lapis bumi (pada hari kiamat)” (Muttafaq alaihi).
11. Tidak meninggikan bangunan sehingga menghalanginya dari sinar matahari atau udara kecuali dengan seizinnya (HR. Thabarani)
12. Memberi nasihat dan ikhlas bermusyawarah dalam urusan dunia maupun akhirat.
13. Bersikap sabar atas gangguan, kelakuan kasar, dan sikap tak acuhnya.
14. Saling memberi.
Nabi saw. bersabda, “Saling memberi hadiah lah kalian, niscaya kalian saling mencintai dan hilang (dari kalian) kebencian” (HR. Imam Malik). Aisyah ra pernah bertanya, “Sesungguhnya saya punya 2 tetangga, kepada siapa diantara keduanya saya memberi hadiah? Nabi saw menjawab, “Kepada yang pintunya paling dekat dengan kamu” (HR. Bukhari).
15. Menunaikan hak-hak tetangga.
Tetangga dibagi menjadi 3 kelompok. Pertama, tetangga yang juga kerabat dan muslim. Mereka ini mendapat 3 hak (hak tetangga, kerabat, dan muslim). Kedua, tetangga dengan 2 hak (tetangga muslim bukan kerabat). Ketiga, tetangga dengan 1 hak (nonmuslim bukan kerabat).
Nabi saw. bersabda, “Apakah kalian mengerti apa hak tetangga itu? Jika ia meminta pertolongan kepadamu, maka tolonglah. Jika ia minta bantuan, bantulah. Jika ia meminta piutang, maka utangilah. Jika ia fakir, maka tengoklah. Jika ia sakit, maka jenguklah. Jika ia meninggal, maka antarkanlah jenazahnya. Jika ia mendapat kebaikan, ucapkanlah selamat (tahni’ah). Jika ia tertimpa musibah, hiburlah (ta’ziah). Jangan kamu ungguli (meninggikan bangunan di atas) bangunannya sehingga ia terhalang angin (udara) kecuali dengan izinnya. Jika kamu membeli buah, maka hadiahkan kepadanya. Apabila tidak maka. masukkanlah buah itu dengan rahasia. Janganlah anakmu membawa keluar buah itu untuk membuat marah anaknya. Janganlah kamu sakiti ia dengan asap masakanmu kecuali kamu mengambilkan masakan itu untuk dia.” Kemudian beliau meneruskan seraya bersabda, “Apakah kalian tahu hak tetangga itu? Demi Zat yang diriku di tangan-Nya, hak tetangga tidak sampai kecuali kepada orang yang dirahmati Allah” (HR. Thabarani).

Sumber : Al Falah


Selengkapnya...

Selasa, 31 Maret 2009

Runtuhnya Benteng Khaibar

Ketika terikat perjanjian gencatan senjata dengan kafir Quraisy dalam kesepakatan Hudaibiyah, Rasulullah Muhammad saw mulai memperhatikan sepak terjang kaum Yahudi Khaibar dengan seksama. Khaibar adalah sebuah kota besar yang memiliki benteng dan kebun-kebun sejauh 60 sampai 80 mil kearah utara Madinah.
Khaibar telah menjelma menjadi markas gembong-gembong Yahudi yang selalu memusuhi kaum muslimin. Sebagian pemuka Yahudi Bani Nadhir -yang diusir Nabi saw dari Madinah karena berkhianat- menjadikan Khaibar sebagai tempat pelarian.

Adalah Yahudi Khaibar yang mendorong Yahudi Bani Quraizhah untuk melanggar perjanjian dengan Nabi saw dan merongrong Madinah dari belakang saat kaum muslimin sibuk menangkal pengepungan Quraisy dan sekutunya dalam perang Ahzab. Bahkan penduduk Khaibar telah mempersiapkan berbagai senjata dan berhasil menggalang dukungan suku Gathafan serta Arab Badui untuk menyerang Madinah.

Karenanya beberapa bulan sepulang dari Hudaibiyah (tahun 7 Hijriyah), Nabi saw memerintahkan kaum muslimin untuk berangkat ke Khaibar. Sekitar 1400 orang memenuhi panggilan ini. Saat itulah Abu Hurairah ra masuk islam dan langsung bergabung dengan para mujahidin. Sedangkan Madinah dipercayakan kepada Siba bin Urthufah Al Ghifary untuk menjaganya (dalam Sirah Nabawiyah, Al Mubarakfury, Pustaka Al Kautsar, hal. 479-492).

Sementara itu Abdullah bin Ubay, tokoh kaum munafik Madinah membocorkan rencana ini. Ia mengirim pesan, “Muhammad hendak mendatangi kalian, maka bersiap siagalah dan kalian tidak perlu takut terhadapnya. Karena jumlah kalian lebih banyak. Kaum Muhammad hanya sedikit dan hanya membawa persenjataan yang minim.”
Jika hendak menyerbu suatu kaum, Nabi saw tidak mendekati mereka kecuali setelah paginya. Wilayah Khaibar dibagi menjadi 2 bagian. Bagian pertama terdiri dari 5 benteng, sedangkan bagian kedua ada 3 benteng. Sebetulnya ada benteng lain selain ini, namun tidak terlalu kuat dan besar.

Begitu melihat para mujahidin, para penduduk Khaibar yang sedang membawa sekop dan keranjang menuju kebun berteriak, “Itu Muhammad, demi Allah Muahammad dan pasukannya.” Mereka berlari kembali kekotanya. Saat itu Nabi bersabda, “ Allahu Akbar, runtuhlah Khaibar!, Allahu Akbar, runtuhlah Khaibar! Jika kita tiba disuatu kaum, maka amat buruklah bagi orang-orang yang layak mendapat peringatan.”
Sebelum menyerbu benteng musuh, Nabi saw menunjuk Ali bin Abi Thalib ra sebagai komandan regu. Nabi saw menyerahkan panji pasukan kepadanya. Ali berkata, “Wahai Rasulullah, aku akan benar-benar memerangi mereka.”
“Janganlah terburu-buru, jika kamu sudah sampai didaerah mereka, ajaklah mereka untuk masuk islam. Beri tahu mereka tentang kewajiban yang harus mereka lakukan. Demi Allah jika ada seseorang diberi hidayah oleh Allah karena usahamu, itu lebih baik bagimu daripada himar (tunggangan/harta) yang paling elok sekalipun.”

Ternyata mereka menolak ajakan Islam. Malah mereka menantang perang tanding dan keluar dari bentengnya. Tak ayal, pertempuran hebatpun meletus disekitar benteng-benteng dibagian pertama. Sekalipun benteng-benteng dibagian kedua lebih besar dan lebih banyak prajuritnya, tapi mereka putus asa dan menyerah begitu saja tanpa ada perlawanan. Padalah jumlah mereka lebih banyak dan punya senjata lebih lengkap serta benteng yang kokoh.

Ada sebuah benteng yang sulit ditaklukkan. Namanya benteng Ash Sha’ab. Meski dikepung selama tiga hari, namun tak kunjung berhasil. Para sahabat mengadu kepada Nabi saw, “kami telah berjuang dan tidak ada lagi yang tersisa di tangan kami.” Lalu Nabi saw berdoa, “Ya Allah, Engkau sudah tahu keadaan mereka (muslimin). Mereka tidak lagi mempunyai kekuatan dan tanganku tidak ada lagi sesuatu yang bisa kuberikan kepada mereka. Maka berikanlah kemenangan kepada mereka dengan menaklukkan benteng paling mereka perlukan, paling banyak makanan dan paling gemuk ternak-ternaknya.”
Orang-orang muslimpun bangkit dan Allah swt memberi keberhasilah. Sementara di Khaibar tidak ada benteng yang lebih banyak makanannya (hasil kebun-kebun Khaibar) dan lebih gemuk ternak-ternaknya selain dari benteng ini. Akhirnya para mujahidin medapatkan makanan setelah beberapa hari kelaparan. Saking banyaknya harta rampasan, Ibnu Umar ra berujar, “Sebelumnya kami tidak pernah merasa kenyang hingga kami menaklukkan Khaibar.” Aisyah ra juga bercerita, “Saat Khaibar ditaklukkan, kami berkata, sekarang bisa kenyang karena makan kurma.”

Sumber : Al Falah


Selengkapnya...

Rabu, 18 Maret 2009

Cerita Tiga Anak Sholeh

Pada suatu ketika ada tiga orang pemuda yang bepergian. Ditengah perjalanan mereka terpaksa bermalam didalam sebuah gua. Tiba–tiba dengan tidak terduga sebuah batu besar terjun dari atas bukit hingga menutup pintu gua itu sehingga ketiga pemuda tadi terjebak didalamnya. Didorongnya batu besar itu dengan sekuat tenaga tetapi batu tersebut tidak bergerak sama sekali.

Berkatalah salah seorang pemuda itu kepada temannya, “Sungguh tiada sesuatu yang dapat menyelamatkan kita dari bahaya ini kecuali jika kita tawasul kepada Allah tentang amal sholeh yang pernah kita lakukan. Sehingga mudah–mudahan batu besar ini dapat digeser.”

Berkatalah pemuda yang pertama, “Ya Allah, dahulu saya mempunyai ayah dan ibu yang sudah tua. Saya biasa memberi minum susu pada beliau berdua sebelum aku memberinya pada orang lain. Hingga pada suatu ketika agak kejauhan bagiku menggembala ternak. Aku tidak kembali kepada kedua orang tuaku hingga malam hari dan keduanya kudapati telah tertidur. Maka akupun segera memerah susu untuk keduanya. Saya tunggui tidurnya, tetapi beliau nyenyak istirahatnya, sehingga aku segan membangunkannya. Sementara sayapun tidak memberikan minuman susu itu kepada siapapun sebelum kepada beliau berdua. Padahal semalam itu juga anak–anakku sedang menangis minta susu tadi. Ya Allah, jika baktiku kepada kedua orang tuaku itu mendapatka ridloMu maka lapangkanlah keadaan kami ini.“ Maka didorongnya batu besar itu dan bergerak sedikit , hanya saja mereka belum bisa keluar.

Berkatalah pemuda yang kedua, “Ya Allah dahulu saya punya pacar yang amat cantik. Saya selalu merayu dan ingin berzina kepadanya, tetapi ia selalu menolak dengan keras. Hingga suatu saat keluarganya jatuh pailit. Aku sanggup menolong dari kepailitan itu, asal ia mau menyerahkan dirinya kepadaku pada malam harinya. Maka ketika saya telah berada diantara dua kakinya (siap berzina ), tiba–tiba ia berkata, “Takutlah kamu kepada Allah dan jangan kau pecahkan selaput daraku ini kecuali dengan halal.” Aku terhenyak bangun dari padanya, dan aku tetap rela membantu dari kepailitannya. Ya, Allah jika perbuatanku itu mendapatkan ridloMu maka hindarkanlah kami dari kemalangan ini.” Maka didorongnya batu besar itu dan bergerak sedikit, tetapi belum cukup untuk keluar dari pintu gua itu.

Maka berkatalah pemuda yang ketiga, “Saya dulu seorang pangusaha yang banyak sekali buruh pegawaiku. Saya selalu tepat membayar upah buruhku. Hingga pada suatu saat ketika saya membayarkan upah buruh, ada seorang buruh yang tidak hadir karena ada kepentingan lain. Ia belum menerima upahnya. Maka upah buruh tadi saya kembangkan hingga bertambah–tambah, berlipat–lipat. Pada suatu ketika datanglah kepadaku si buruh tadi menanyakan akan upahnya yang belum dibayarkan olehku. Aku katakan kepadanya bahwa harta kekayaan yang ada di depannya yang berupa unta, lembu, kambing itu miliknya. Upahmu dulu aku kembangkan hingga menjadi kekayaan itu, maka ambilah semuanya. Ya, Allah jika perbuatanku itu mendapatkan ridloMu maka hindarkanlah kami dari kesempitan ini.” Maka didorongnya batu besar itu dan bergerak, sehingga cukup untuk keluar dari pintu gua itu dan keluarlah ketiganya dengan selamat.

Dari itu dapat diambil hikmah betapa besarnya faidah melakukan amal dengan tulus ikhlas berbakti kepada kedua orang tua, mengalahkan besarnya godaan hawa nafsu dan kerakusan terhadap harta (upah buruh).

Allah berfirman dalam Al Qur’an surat Al Israa', 80 :
“Ya Tuhanku , Masukkanlah aku secara masuk yang benar dan keluarkanlah (pula) aku secara keluar yang benar. Dan berilah kepadaku dari sisiMu kekuasaan yang menolong“

Selengkapnya...

Jumat, 13 Maret 2009

Ibnu Hajar

Alkisah ada seorang santri yang kurang beruntung, namanya Ibnu Hajar (Ibnu Hajar artinya anaknya batu). Ia adalah seorang ulama besar pada masanya. Ada ceritanya mengapa mendapat julukan Ibnu Hajar.
Sebenarnya ia bernama Sofyan bin Mas’ud Al Kurtubi. Oleh ayahnya pemuda Sofyan di sekolahkan pada seorang ulama besar bernama Faqih As Sjuhudi. Tetapi pemuda Sofyan tadi terlalu sulit setiap menerima pelajaran dari gurunya. Semua tugas–tugas yang diberikan As Syuhudi tidak dapat diselesaikan dengan sempurna. Sehingga berat rasanya belajar pada sang Guru. Apalagi cemooh dan gurauan dari sesama murid terhadap dirinya semakin menyengsarakan hatinya. Bertahun–tahun ia berguru tetapi kemajuannya kurang berarti. Maka diam–diam Sofyan Al Kurtubi melarikan diri dari tempat ia belajar. Ia berjalan jauh tanpa tujuan. Hatinya sudah kosong seakan putus asa atas kegagalan belajarnya.


Ditengah perjalanan jauh yang tanpa tujuan itu, tiba–tiba turun hujan dan angin ribut. Dicarinya tempat untuk berteduh. Setelah dicari kesana kemari maka diketemukanlah sebuah gua kecil dan iapun masuk gua itu untuk berteduh.

Singkat cerita dalam pelariannya itu ia bersembunyi didalam gua tersebut hingga beberapa hari. Suatu hari ia melihat ada tetesan air dalam gua yang dapat melubangi batu dasar gua itu. Dalam hati Sofyan bin Mas’ud merenungkan kejadian tersebut. Batu yang besar dan keras itupun akan berlubang walau hanya terkena tetesan air asal terus menerus dan dalam waktu yang lama. Menurutnya orang mencari ilmu walaupun dalam kondisi sulit, akan dapat berhasil asalkan tekun dan terus–menerus belajar walaupun dalam waktu relative lama. Maka atas ijin Allah ia kembali lagi kepada gurunya untuk memperdalam ilmu agama lagi. Pemuda Sofyan ingin membuka lembaran baru dalam berguru agama. Ia tekun dan benar–benar konsentrasi pada pelajaran dan tidak mau memeperhatikan cemoohan orang. Alhasil ia dapat menyelesaikan pelajarannya dengan sangat memuaskan walaupun dalam waktu relative lama. Akhirnya beliau menjadi ulama besar pada masanya.

Dalam kehidupan sehari–hari sering kita temui banyak orang yang putus asa untuk mencapai tujuan. Segala sesuatu inginnya diraih dengan cepat, sehingga banyak orang yang menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya. Padahal untuk mencapai kesuksesan diperlukan kerja keras dan melalui proses panjang. Islam tidak memperbolehkan untuk berputus asa dari rahmatNya. Perlu keuletan dan ketelatenan dalam mencapai tujuan.

Firman Allah :

“…….dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir". (QS. Yusuf 87)




Selengkapnya...

Senin, 02 Februari 2009

Seputar Najis

Pengertian
Najis merupakan kotoran dimana bagi setiap muslim wajib mensucikan diri dan mensucikan apa yang dikenainya.

Dalam FirmanNya :
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri (QS Al Baqarah 222).

Macam-Macam Najis
1. Bangkai
Pengertiannya ialah apa saja yang mati begitu saja, artinya tanpa disembelih menurut ketentuan agama. Termasuk dalam hal ini mengambil atau memotong sebagian anggota tubuh binatang hidup, berdasarkan hadits Abu Waqid al-Laitsi : Telah bersabda Rasulullah saw : “Apa yang dipotong dari binatang ternak, sedang ia masih hidup, adalah bangkai.” (HR Abu Daud dan Turmudzi dan diakui sebagai hadits hasan).


Bangkai yang dikecualikan dari najis :

a. Bangkai ikan dan belalang

Bangkai ikan dan belalang suci, berdasarkan hadits Ibnu Umar ra :

Telah bersabda Rasulullah saw :

“dihalalkan bagi kita dua bangkai, yaitu bangkai ikan dan belalang, sedang mengenai darah yaitu hati dan limpa.” (HR Ahmad, Syafi’I, Ibnu Majah, Baihaqi dan Daruquthni)

b. Bangkai binatang yang tidak mempunyai darah mengalir.

Binatang ini seperti semut, lebah dan lain-lain maka bangkai binatang ini suci. Jika ia terjatuh kedalam sesuatu dan mati, maka tidak menyebabkan najis.

c. Tulang dari bangkai, tanduk, bulu, rambut, kuku dan kulit serta apa yang sejenis dengan itu hukumnya suci, karena asalnya semua ini adalah suci dan tidak ada dalil yang mengatakan najisnya.

Dalam sebuah hadits dari Ibnu Abbas berkata :

Majikan dari Maimunah menyedekahkan kepadaku seekor domba, tiba-tiba domba tersebut mati, kebetulan Rasulullah saw lewat, maka sabdanya : “Kenapa tidak diambil kulitnya untuk disamak sehingga bisa dimanfaatkan?” “Bukankah itu bangkai?” jawab mereka, “Yang diharamkan adalah memakannya” jawab Nabi. (HR Jama’ah kecuali Ibnu Majah)

2. Darah

Baik ia darah mengalir atau tertumpah, misalnya yang mengalir dari hewan yang disembelih ataupun darah haid, tetapi dimaafkan kalau sedikit.

Dari Aisyah ra berkata : ”kami makan daging sedangkan darah nampak seperti benang-benang dalam priuk.” Berkata Hasan : “kaum muslimin tetap melakukan sholat dengan luka-luka mereka.” (diriwayatkan oleh Bukhori).

Ada lagi sebuah riwayat yang sah dari Umar ra bahwa beliau sembahyang sedang lukanya masih berdarah. (disebutkan oleh Hafidh dalam Al-Fath)

Adapun darah nyamuk dan darah dari bisul, maka dimaafkan berdasarkan dari atsar atau riwayat dari para sahabat tadi.

3. Muntah, kencing dan kotoran manusia

Untuk najisnya semua ini disepakati bersama, hanya kalau muntah itu sedikit, maka dimaafkan. Begitu pula diberi keringanan atas kencing anak laki-laki yang belum diberi makan, maka mensucikannya cukup dengan memercikkan air, berdasarkan hadits Ummu Qais ra yang artinya : “bahwa ia datang kepada Nabi saw membawa bayinya yang laki-laki yang belum diberi makan, dan bahwa bayi terebut kencing dipangkuan Nabi. Maka Nabipun meminta air dan memercikkannya (maksudnya sebagaimana riwayat lain adalah menebarkan air dengan jari-jari tidak sampai air mengalir) keatas kainnya dan tidak mencucinya lagi” (disepakati oleh ahli hadits)

Dan riwayat dari Ali ra berkata : telah bersabda Rasulullah saw : “kencing bayi laki-laki dipercikkan air, sedangkan kencing bayi perempuan hendaklah dicuci” berkata Qatadah : “ini selama keduanya belum diberi makan, jika sudah maka kencing mereka hendaklah dicuci” (HR Ahmad)

4. Wadi

Yaitu air putih kental yang keluar mengiringi kencing, maka hukumnya najis. Berkata Aisyah ra ; “adapun wadi ia adalah setelah kencing, maka hendaklah seseorang mencuci kemaluannya lalu berwudhu dan tidak usah mandi” (Riwayat Ibnu Mundzir)

Dan dari Ibnu Abbas ra berkata : “Adapun mani hendaklah mandi, mengenai madzi dan wadi, pada keduanya berlaku cara bersuci” (diriwayatkan oleh Atsram dan Baihaqi)

5. Madzi

Yaitu air putih yang bergetah yang keluar sewaktu mengingat senggama atau ketika sedang bercumbu. Kadang-kadang keluarnya tidak terasa. Terdapat pada laki-laki dan perempuan, hanya lebih banya pada golongan perempuan. Hukumnya najis menurut kesepakatan para ulama, hanya bila mengenai badan wajib dicuci dan jika mengenai kain, cukuplah dengan memercikkannya dengan air karena ini merupakan najis yang sukar menjaganya sebab sering menimpa pakaian pemuda-pemuda sehat hingga lebih layak mendapat keringanan dari kencing bayi.

Dari Ali ra berkata : “aku adalah seorang laki-laki yang banyak madzi, maka kusuruh seorang kawan untuk menanyakan kepada Nabi saw, mengingat aku adalah suami putrinya. Kawan itupun menanyakan dan jawab Nabi : “berwudhulah dan cucilah kemaluanmu” (HR Bukhari dan lain-lain)

Dari Sahl bin Hanif berkata : “Aku mendapatkan kesusahan dan kesulitan disebabkan madzi dan sering mandi karenanya. Maka aku sampaikan hal ini kepada Rasulullah saw dan jawabnya : “cukuplah kamu berwudhu karena itu” lalu kataku pula : “ya Rasulullah, bagaimana yang mengenai kainku?” Jawabnya : “cukup kau ambil sesauk air lalu percikkan kekainmu hingga jelas olehmu mengenainya.” (HR Abu Daud, Ibnu Majah dan Turmudzi)

6. Mani

Hukum mani adalah suci, tetapi disunatkan mencucinya jika masih basah dan mengoreknya jika sudah kering. Berkata Aisyah ra : “kukorek mani itu dari kain Rasulullah saw bila ia kering dan ku cuci bila ia basah” (Riwayat Daruquthni, Abu Uwanah dan Al-Bazzar).

Dari Ibnu Abbas ra berkata : “Nabi saw ditanya orang mengenai mani yang mengenai kain. Maka jawabnya “ia hanyalah seperti ingus dan dahak, maka cukuplah bagimu menghapusnya dengan secarik kain atau dengan daun-daunan.” (HR Daruquthni, Baihaqi dan Thawawi).

7. Kencing dan tahi binatang yang tidak dimakan dagingnya

Hukumnya najis, berdasarkan hadits Ibnu Mas’ud ra yang berkata : “Nabi saw hendak buang air besar, maka disuruhnya aku mengambilkan tiga buah batu. Dapatlah aku dua buah dan ku cari satu buah lagi tapi tidak ketemu, maka kuambillah tahi kering lalu kuberikan kepadanya. Kedua batu itu diterima oleh Nabi, tetapi tahi tadi dibuangnya sambil berkata : “ini najis”.” (HR Bukhari, Ibnu Majah dan Ibnu Khudzaimah).

Dan dimaafkan bila hanya sedikit, karena susah menjaganya.

Mengenai kencing dan tahi hewan yang dimakan hukumnya suci berdasarkan hadits dari Anas ra berkata : “orang-orang Ukul dan Urainah datang ke Madinah dan ditimpa sakit perut, maka Nabi saw menyuruh mereka untuk mencari unta perahan dan supaya meminum kencing dan susunya.” (HR Ahmad, Bukhari dan Muslim).

Hadits ini menjadi dalil sucinya kencing unta dan binatang-binatang lain diqiyaskan kepadanya.

8. Binatang Jallalah.

Hukumnya najis karena ada larangan untuk mengendarainya, memakan dagingnya dan meminum susunya.

Yang dimaksud dengan Jallalah adalah binatang-binatang seperti unta, sapi, kambing, ayam, itik dan lain-lain yang memakan kotoran sampai baunya berubah. Tetapi jika binatang tersebut dikurung dan terpisah dari kotoran-kotoran itu beberapa waktu dan memakan makanan yang baik, hingga dagingnya jadi baik maka nama jallalah tersebut hilang dari dirinya, maka hukumnya halal.

Dari Umar bin Syuaib berkata : “Rasulullah saw melarang memakan daging keledai piaraan, begitupun jallalah, baik mengendarai atau memakan dagingnya.” (HR Ahmad, Nasai dan Abu Daud).

9. Khamar

Ada sebagaian ulama berpendapat khamar adalah najis. Berdasarkan firman Allah :

“Sesungguhnya arak, judi dan bertenun itu adalah najis, termasuk pekerjaan setan.” (Al Maidah 90)

Sebagaian ulama lainnya berpendapat bahwa khamar adalah suci, sedangkan kata-kata najis pada ayat tersebut diatas ditafsirkan bahwa arak, judi dan bertenun merupakan perbuatan setan yang akan menimbulkan permusuhan dan saling membenci serta menjadi penghalang untuk mengingat Allah. Sehingga najis tersebut dimaknai sebagai najis maknawi.

Contohnya adalah ganja, ia adalah haram tetapi tetap suci. Adapun barang najis maka selamanya berarti haram, tetapi bukan sebaliknya. Menetapkan sesuatu sebagai najis berarti melarang menyentuhnya dengan cara apapun, maka menetapkan sesuatu yang najis berarti menetapkan haramnya.

10. Anjing

Anjing hukumnya najis dan wajib mencuci apa yang dijilatnya sebanyak tujuh kali dan yang pertama dengan tanah. Mencuci dengan tanah maksudnya mencampurkan tanah kedalam air hingga menjadi keruh.

Berdasarkan hadits Abu Hurairah ra berkata : “telah bersabda Rasulullah saw : “cucilah bejanamu yang dijilat oleh anjing yaitu dengan mencucinya sebanyak tujuh kali, yang pertama dengan tanah” (HR Muslim, Ahmad, Abu Daud dan Baihaqi)

Sedangkan mengenai bulu anjing, hukumnya adalah suci dan tidak ada keterangan yang menyebutkannya sebagai najis.

Referensi :
1. Fiqih Sunah,
2. Fiqih Wanita,
Selengkapnya...

© free template 3 columns